Sabtu, 10 November 2012

Pujangga Baru


Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang.
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru
Sutan Takdir Alisjahbana
Dian Tak Kunjung Padam (1932)
Tebaran Mega – kumpulan sajak (1935)
Layar Terkembang (1936)
Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)
Hamka
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939)
Tuan Direktur (1950)
Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
Armijn Pane
Belenggu (1940)
Jiwa Berjiwa
Gamelan Djiwa – kumpulan sajak (1960)
Djinak-djinak Merpati – sandiwara (1950)
Kisah Antara Manusia – kumpulan cerpen (1953)
Sanusi Pane
Pancaran Cinta (1926)
Puspa Mega (1927)
Madah Kelana (1931)
Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
Kertajaya (1932)
Tengku Amir Hamzah
Nyanyi Sunyi (1937)
Begawat Gita (1933)
Setanggi Timur (1939)
Roestam Effendi
Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan
Pertjikan Permenungan
Sariamin Ismail
Kalau Tak Untung (1933)
Pengaruh Keadaan (1937)
Anak Agung Pandji Tisna
Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)
Sukreni Gadis Bali (1936)
I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)
J.E.Tatengkeng
Rindoe Dendam (1934)
Fatimah Hasan Delais
Kehilangan Mestika (1935)
Said Daeng Muntu
Pembalasan
Karena Kerendahan Boedi (1941)
Karim Halim
Palawija (1944)
[sunting]Angkatan 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan ’45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan ’45 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan ’45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar